oleh Ema Hermawati, S.Pd, M.Pd
Pendidikan adalah sarana pengolahan pribadi dari yang tidak terdidik menjadi pribadi yang lebih terdidik fokus pada pengolahan mental dan kematangan serta pendewasaan emosi sebuah pribadi. Sedangkan pengajaran adalah proses pendidikan yang mengarahkan sebuah pribadi dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari nilai nol sampai seratus karena yang diolah adalah kognitif dan keterampilan yang bisa diukur dengan angka.
Ketika kita menjadi seorang dewasa dan dapat mendidik anak kita atau anak didik kita, naluri kita diarahkan pada hal-hal yang menuju pada pengolahan rasa, penempaan mental, empati, simpati, kematangan dan kedalaman emosi seorang anak, sehingga anak tidak merasa terhimpit ataupun tertekan mental ketika menghadapai berbagai masalah dalam kehidupannya kelak. Karena ketika hal itu terjadi maka beratnya tekanan pada jiwa anak akan mematikan kreativitas serta potensi anak, dan memunculkan sisi negatif. Kekhawatiran kita, anak akan melampiaskan ketidaknyamanan dalam dirinya dengan hal-hal yang dia lakukan di luar kontrol dirinya.
Hal yang paling sederhana adalah ketika anak/anak didik kita bawa ke sebuah lingkungan baru, di luar zona nyaman mereka yaitu rumah. Adakah keberanian (bravery) yang muncul dari anak dengan anak dapat melangkah tegak, tersenyum tulus, menyapa dan selanjutnya anak dapat menerima dan meredam serta menetralisir ketidaknyamanan serta kegelisahan yang timbul pada saat interaksi berlangsung. Pada hakekatnya ketidaknyamanan tersebut adalah suatu benturan pada psikis anak yang hanya bisa dirasakan oleh anak.
Peran kita sebagai orang dewasa/orang tua apalagi sebagai pendidik sangat dibutuhkan pada masa-masa pembentukan jati diri anak. Bimbingan, arahan, ajakan, sapaan, senyuman yang kita berikan adalah seperti oase bagi mereka, pendekatan secara personal yang kita lakukan secara intens dapat mengorek isi hati, serta mengisi kekosongan, keraguan, ketidakpercayaan pada diri sendiri. Pikiran-pikiran kita sebagai orang dewasa dan pendidik dapat melengkapi menyempurnakan sehingga dapat membentuk pola pikir anak dan memberi fondasi yang kuat untuk kematangan mental dan emosi anak, ibarat sebuah puzzle banyak terdapat ruang ruang kosong dalam jiwa anak yang menuntut isi dari para orang orang di sekelilingnya.
Kadang kita lupa, karena bersaing dengan waktu yang seperti berlari dan terpaku dengan sistem yang sudah baku sehingga memasung dan membatasi penggalian potensi anak, membatasi proses penguatan mental anak, sehingga yang kita lakukan adalah mengajar dan mengajar. Demikian, sampai anak kita bisa dan dapat menghasilkan sebuah angka yang merupakan parameter dari hasil proses pembelajaran. Kita puas dan anak puas tanpa melihat apa yang anak rasakan ketika proses pembelajaran berlangsung.
Latar belakang anak yang berbeda dan beragam adalah akar dari pembentukan pribadi anak, rapuh atau tegar pribadi seorang anak dalam melalui proses proses pembelajaran dan juga melalui proses proses kehidupan sering kita abaikan. Anak anak yang seperti berlari menyerap semua proses pembelajaran tetapi kita lupa ada anak anak berjalan selangkah demi selangkah atau bahkan tertatih-tatih mengikuti proses pembelajaran. Ada beban-beban yang ditanggungnya. Terbebani oleh berbagai masalah hidup yang mereka sendiri tidak siap menghadapinya apalagi harus menyelesaikannya, bahkan mereka tidak mengerti dengan apa yang mereka alami.
Proses pengajaran yang kita berikan pada anak/anak didik kita akan lebih lengkap rasanya jika disertai dengan proses pendidikan. Kita sebagai orang yang lebih dewasa apalagi sebagai pendidik yang lebih banyak pengalaman hidup dan lebih kaya dalam perbendaharaan solusi berbagai masalah. Sebaiknya kita sertakan sisi subyektif selain sisi obyektif atau kita sertakan dan letakan hati untuk melengkapi proses pembelajaran dan pendidikan yang kita berikan ke anak sehingga dapat mengolah cipta, rasa serta karsa anak/anak didik kita.