oleh Drs. H. Didik Sedyadi, M.Pd.
Istilah cagar alam sering kita dengar. Cagar budaya juga sering. Akan tetapi istilah cagar manusia mungkin baru kali ini.
Manusia yang hidup dalam sebuah cagar manusia pasti manusia langka. Ada dua kelompok manusia langka menurut kurva normal. Superior dengan IQ > 130 dan mental terbelakang untuk IQ < 79 (rujukan dari skala Terman). Namun superior atau di bawah garis umum, juga bukan hanya dengan tolok ukur kecerdasan. Komunitas manusia juga bisa dijadikan tolok ukur. Jumlah mereka umumnya sangat sedikit. Karena sedikitnya inilah mereka menjadi sosok yang sangat mudah dikenal di lingkungannya. Namun “cagar manusia” yang tulisannya saya turunkan di sini bukan seperti yang dipaparkan di atas, akan tetapi sebuah renungan lain terhadap gejala yang terjadi di sekitar kita.
Telah ratusan, bahkan ribuan tahun bersamaan dengan meningkatnya peradaban manusia, maka manusia jaman sekarang boleh dikatakan sebagai manusia modern. Manusia modern boleh jadi menyandang martabat yang tinggi. Ketinggian martabat sementara ini masih diakui diukur dengan tingkat pendidikan. Lebih kentara lagi ketinggian martabat dicoba dibangun oleh sebagian orang dengan menempelkan gelar akademik di depan dan atau belakang namanya. Kebanggan (dan mungkin menjalar perlahan menjadi kepongahan) karena tingginya pendidikan semakin hari semakin menjadi kecenderungan yang dimaafkan. Tetapi di tengah jutaan manusia yang berpendidikan tinggi ada satu hal kecil yang menurut saya bukan hal kecil untuk direnungi.
Kita mengenal kantong-kantong kekhasan etnis (atau sub etnis) di Indonesia yang menjadi sebuah kantong yang dilindungi. Yang harus dijaga kekhasannya. Yang harus dilestarikan budayanya. Yang harus selalu berjalan tatacara hidupnya. Sayangnya kantong-kantong kekhasan sub etnis ini menjadi komoditas wisata, karena memasok nominal Pendapatan Asli Daerah (PAD). Manusia lain yang datang dari berbagai etnis lain “diundang” (melalui media promosi) agar berkunjung ke kantong-kantong tersebut. Promosinya adalah “kunjungi salah satu wilayah di negara kita yang tetap memegang teguh budaya nenek moyang”.
Dengan istilah yang lebih sarkastis, barangkali kantong-kantong yang dipromosikan menjadi tujuan wisata / widya wisata / study tour, lebih tepatnya adalah kantong-kantong yang tidak boleh maju. Biarlah mereka tetap terkungkung oleh ninabobo “teguh memegang budaya nenek moyang”. Ya, tidak boleh maju. Alasannya tidak masuk akal. Istilah bahasa Jawa “ora ilok”, istilah bahasa Sunda “pamali”. Nanti jika maju, nenek moyang mengutuk, sehingga bisa mendatangkan bencana.
Padahal pendidikan yang ada di dunia ini bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia secara rata. Semuanya harus berpendidikan. Semuanya harus maju. Tidak boleh ada sekelompok manusia yang terisolasi apalagi sengaja diisolasi. Tidak boleh ada sekelompok manusia yang kehidupannya dipandang menguntungkan sebagian yang lain sehingga harus tetap terisolasi. Listrik tidak boleh masuk. Televisi tidak boleh masuk. Inilah yang saya maksud dengan “semacam” cagar manusia.
Dalam mimpi saya, di pulau Jawa paling tidak ada tiga kantong kekhasan sub etnis (di Jawa Barat ada dua buah, di Jawa Tengah ada satu) yang keberadaanya menjadi semacam komoditi penyokong PAD melalui dinas kebudayaan dan pariwisata. Di luar pulau Jawa mungkin ada pula kekhasan sub etnis yang sama perannya.
Jika suatu saat diadakan sebuah demonstrasi dalam festival budaya internasional. Kontingen negara kita sangat bangga ketika bisa menunjukkan masih ada etnis tertentu (dari wilayah timur) yang sangat mahir membuat patung kayu dengan masih memakai pakaian yang minim. Patung kayunya bolehlah, tetapi dalam sebuah festival budaya di luar negeri, janganlah menampilkan pakaian minim. Itu artinya menunjukkan aib sendiri, bahwa pemerintah masih gagal dalam meningkatkan martabat manusia (dalam indikator berpakaian).
Mari kita berfikir jernih. Rasanya akan lebih bijak dan arif jika saudara-saudara kita di kantong-kantong tadi sejajar dengan kita. Bisa sekolah, bisa berdagang dengan cara kita, bisa nonton TV, bisa main internet, bisa punya akun di media sosial dan sebagainya. Mari kita mawas diri, berkaca jika kita menjadi mereka. Misalnya ada turis asing akan datang ke Indonesia, teman turis bertanya:”Mengapa anda memilih Indonesia?”
“Ya, Indonesia itu menarik. Pola pikirnya lambat. Pemerintah belum mampu meningkatkan harkat dan martabat sebagian suku bangsanya.”
“Waaaaahhh… benar itu! Mari kita usulkan Indonesia menjadi cagar bangsa!”
Kita tentu sangat sakit hati jika ada orang asing yang datang untuk “menonton” kita. Maka, marilah kita mulai berfikir untuk tidak berwisata dengan mengunjungi “cagar manusia”. PAD dapat dicari dengan cara lain, bukan menjadikan manusia menjadi obyek belajar melalui widya wisata atau sejenisnya. Jika semua berfikir bahwa “menonton sesama manusia” itu tidak manusiawi, maka lambat laun tren ini akan menghilang sedikit demi sedikit. Hingga suatu saat kita semua, unsur bangsa Indonesia hanya satu. Indonesia yang sama.***
(Tulisan ini merupakan olah ulang / revisi opini yang pernah dipublikasikan pada tahun 2014)
Tentang Penulis:
Penulis adalah guru matematika SMAN 1 Majalengka yang punya hobby menulis (terutama fiksi) sejak Kelas I SMP (saat karyanya terbit di sebuah media cetak di Surakarta tahun 1978).
Telah menulis 3 (tiga) buah buku fiksi:
- Novel Kyai Keramat,
- Kumpulan Cerpen Pelarian Gang Dolly (Ber-ISBN), dan
- Kumpulan Cerpen Fira Haruskah Kutunggu Kau di Sorga? (Ber-ISBN).
- Cinta Dari Ufuk Timur (Ber-ISBN)
- Yang Melintas di Taman Surga Roudhoh (Ber-ISBN)
Blog Pribadi : edufiksi.blogspot.co.id
Blog Umum : kompasiana.com/didik_sedyadi
FB : Didik Sedyadi
IG : didik.sedyadi