FILANTROPI YANG TELAH PUPUS

Fadillah Utami Ningtyas

Sang baskara dengan malu-malu mulai membenamkan diri. Nabastala pun ikut merelakan kepergian senjanya yang dahayu, bersiap tergantikan oleh rembulan bersama gugus-gugus bintang yang setia menemani malam. Mungkin sang surya memilih tidur lebih awal, malas melihat segilintir manusia bumi yang bangga akan takhta dengan bayang-bayang dusta tanpa sekat, bernapas kotor menanai durjana.

            Sementara aku di sini. Bersama loka yang pengap, menyelam penuh sesak pada konfigurasi larutan kesepian yang aku buat sendiri. Terjebak dalam kesunyian dengan memori masa lalu. Terkadang aku tidak mengerti dengan semesta yang selalu senang bercanda, mempersembahkan skenario membingungkan yang disebat penuh sesak oleh sebagian besar orang. Tapi aku lebih tidak mengerti dengan manusia. Dengan mereka yang masih mampu tersenyum di atas derita bumi pertiwi, atau mereka yang hatinya kosong penuh aswad sampai gosong otaknya.

            Bukannya aku membenci manusia bumi, hanya saja sebagian besar dari mereka berlakon seolah hanya manusia yang tinggal di bumi. Mendadak amnesia, membalas laut dengan beribu liter minyak tumpah. Pura-pura buta sambil menderma sejuta ton sampah kepada sungai. Bahkan seringkali mengirim bulldozer pada hutan yang telah membelai lembut mereka.

            “Kita duduk di sini saja, Ge ….”

            Balon lamunanku pecah seketika, bersamaan dengan terdengarnya suara seorang gadis yang tak jauh dari tempatku.

            Nana. Belum lama aku mengetahui nama pemilik suara itu. Jujur saja, aku telah menaruh penghakiman buruk kepadanya, saat pertama kali ia menemuiku. Namun, ternyata aku salah. Saat ia mengunjungiku untuk kali kedua, aku justru mengagihkan diri bahwa aku menyukainya. Bukan karena dia cantik, melainkan karena dia bukan salah satu dari sekian banyak orang sinting yang meracuni sungai dengan merkuri. Dia juga bukan bagian dari mereka yang dengan arogannya mampu membentak langit dengan terus menyumbang karbon monoksida.

            Dia berbeda, dan itu menjadi salah satu alasan kenapa aku menyukainya. Sangat.

            “Kenapa kamu ajak aku ke sini, Na? Padahal aku bisa ajak kamu nonton bioskop atau traktir makan,” ujar seorang laki-laki berbadan tinggi yang datang bersama Nana.

            “Aku suka duduk di sini, Ge. Random, sih, hanya saja aku senang lihat air mengalir begitu tenang,” balas Nana. Gadis itu sudah lebih dulu mendaratkan tubuhnya di atas rerumputan liar.

            “Hampir malam, pasti banyak nyamuk,” kata yang laki-laki. “Kita bisa dapat predikat pasangan kekasih teraneh gara-gara kencannya cuma lihat air kanal.”

            Nana tertawa kecil. Mendengar tawa gadis tersebut mengudara, membuatku tersenyum tanpa sadar. Ia benar-benar manis, dan aku yakin semesta juga pasti tak bisa menyangkal.

            “Kamu mau berdiri terus, Ge? Ayo duduk, temani aku,” seloroh Nana seraya melirik sekilas laki-laki di sampingnya.

            Yang laki-laki mengulum senyum tipis lalu duduk di sebelah Nana. Ia meluruskan kakinya, memandang jauh ke arahku. Kemudian beralih pandang pada gumpalan awan kelabu yang tersebar di cakrawala. Warnanya tak lagi putih bersih bagai nirmala, kelabu seolah mendelik kesal pada manusia yang dengan sukarela menderma asap sembari membabat habis hutan.

            “Aku enggak mengerti, Na …. Kenapa kamu suka duduk di sini? Maksudku … memang apa spesialnya Kanal Molenviet? Dia cuma saksi bisu kebiadaban Belanda dulu di Batavia,” komentar yang laki-laki.

            Nana tersenyum lagi. Aku bersumpah senyum Nana ini memabukkan, manis sekali. “Kata Kakekku, dulu kanal ini berfungsi sebagai pengendali banjir. Di sepanjang kanal terdapat kincir angin yang meniru sistem pengairan di Belanda. Dulu airnya juga jernih, jadi sering dipakai mandi dan mencuci oleh warga setempat. Bahkan, Kakek sering lihat pertunjukkan peh cun yang diiringi tari cokek pada malam hari.”

            Laki-laki di sebelah Nana mengangguk-angguk, lantas ia menyulut sebuah rokok, membiarkan nikotin mampir ke paru-parunya. Dan tentang bagaimana uap putih dari tembakau itu pecah di udara, itu bagian yang paling membuatku muak.

            Laki-laki tersebut kembali mengisap tembakaunya. Lalu mematikan ujung rokoknya pada reremputan dan melemparnya begitu saja ke kanal yang ada di depannya, saat Nana terbatuk karena asap rokok miliknya. “Tapi sekarang airnya kotor dan bau, Na. Sampah dan sendimentasi menghiasi salah satu etalase sejarah berdirinya Kota Jakarta. Jadi … apa lagi istimewanya kanal ini?”

            “Gesang …,” lirih Nana dengan suara pelan.

            Gesang. Rupanya nama laki-laki itu Gesang. Ah, seandainya aku tak bisu dan mampu berirama, mungkin sudah aku ceramahi laki-laki bernama Gesang tersebut. Dengan mudahnya ia mengatakan kanal Molenvliet penuh sampah ditemani air kotor dan berbau, padahal beberapa detik lalu ia menyumbang puntung rokok pada kanal.

            “Manusia sendiri yang membuat sejarah Molenvliet yang penuh romantisme ini seakan tertelan bumi. Sekarang, mana tertarik orang pada kanal penuh sampah yang airnya lebih mirip kopi susu. Pasti dikesampingkan soal betapa indahnya dulu kanal ini,” ujar Nana diakhiri senyum tipis. “Sekarang kawasan di sekitar Jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk lebih banyak dikenal dengan gemerlap hiburan malam, siapa coba yang sukarela memerhatikan kondisi kanal?”

            “… kalaupun lewat, cuma sekadar numpang buang sampah sembarangan di kanal─”

            Nana belum sempat menyelesaikan kalimatnya, matanya mencelang saat Gesang berjalan mendekat ke arahku. Lima detik pertama laki-laki tersebut memandangiku sejenak, lalu detik selanjutnya tanpa pikir panjang ia buang bungkus rokoknya yang sudah habis.

            “Ge! Kita ‘kan lagi bahas kenapa kanal ini airnya jadi kotor, kamu kenapa malah buang sampah ke sungai?” protes Nana diakhiri helaan napas panjang.

            Kalau Nana saja menghela napas melihat kelakuan Gesang yang seolah tanpa dosa membuang sampahnya begitu saja, tentu saja aku sudah menjatuhi sumpah serapah kepadanya. Dan melihat respon laki-laki tersebut, aku semakin geram dibuatnya. Meyakinkanku bahwa Gesang dan pemikiran dangkalnya itu adalah satu dari sekian banyak orang yang membuat banjir selalu menaruh afeksi kerinduan kepada manusia bumi.

            “Memang kenapa, Na? Toh, orang-orang juga buang sampah ke sana. Lagipula sampah yang aku buang enggak ada artinya kalau dibandingkan pabrik yang rajin menyumbang limbah di sungai. Iya ‘kan, Na?” alibi Gesang seraya mengangkat bahunya.

            “Nanti air kanalnya menangis, Ge. Memangnya kamu enggak kasihan sama airnya? Sama ikannya?” ujar Nana dengan suara lirih.

            Gesang mengembuskan napas berat. Dan melihat bagaimana cara dia mengembuskan napas, benar-benar membuatku semakin geram. Rasanya, jika aku dikaruniai tangan … sudah aku layangkan seribu tamparan di wajahnya.

            “Kalau aku buang ke tanah, pasti kamu mengomel lagi. Nanti siapa yang menangis kalau aku buang sampahnya ke tanah? Rumputnya … atau tanahnya? Atau justru cacing tanah? Bakteri yang hidup di dalam tanah?” tanya Gesang dengan suara yang sangat memuakkan.

“Aku tahu kamu ini aktivis lingkungan, Na. Tapi ‘kan … enggak lucu kalau kita berantem cuma gara-gara sampah, Na,” tambah Gesang lantas ia kembali duduk.

Gesang meraih tangan Nana. Menautkan jemari mereka, menghangatkan diri masing-masing akan dinginnya angin yang berembus. “Jangan marah, ya?”

“Persepsi kamu yang beranggapan kalau membuang sampah ini sudah menjadi kebiasaan … itu salah, Ge. Kamu yakin kalau waktu SMA kamu ikut ekskul pecinta alam?” lirih Nana.

“Aku suka muncak, makanya ikut ekskul itu dulu, Na. Kalau masalah buang sampah sembarang, mayoritas warga Indonesia pasti melakukannya ‘kan? Bukan aku saja,” dalih Gesang membela dirinya.

“Gini, Ge ….” Nana menghela napas sejenak, “kalau ada satu orang saja yang membuang sampah di kanal, dan saat ada orang yang sama-sama enggak peduli akan lingkungan melihat hal tersebut, maka dia juga akan ikut membuang sampah di tempat tersebut. Alhasil, masyarakat lainnya juga akan ikut membuang sampah di situ, sampai akhirnya menumpuk dan menghambat jalan air.”

“Tapi aku bukan orang pertamanya, Na,” pungkas Gesang membela diri. “Aku cuma buang satu sampah ke kanal, aku enggak sampai buang sampah sekarung, kok.”

Aku mendelik gemas mendengar alibi Gesang. Dengan gampangnya ia bisa bicara demikian, seolah laki-laki tersebut tak bersalah karena telah menyumbang satu lagi sampah kepadaku. Mungkin daripada melihat air jernih yang mengalir di sepanjang kanal, memamerkan ikan-ikan yang menari penuh sukacita, Gesang lebih suka melihat kanal dan sungai sebagai suaka sampah.

Astaga … akhir-akhir ini, aku jadi lebih emosional. Selalu mendelik gemas kepada manusia bumi yang begitu sering menyumbang sampah kepadaku, menambahkan sejuta tetes limbah tanpa rasa bersalah kepadaku. Giliran semesta murka dan aku mampir dengan air yang meluap, mereka baru saling menyalahkan sambil berkoar Stop membuang sampah sembarangan! begitu. Menyebarkan ratusan lembar pamflet penghijauan yang pada akhirnya juga menumpuk sia-sia di sungai. Katanya penghijauan, tapi justru membiarkan bulldozer menebas habis mereka yang hijau, lalu tanpa dosa membiarkan tumpukkan kertasnya bersemayam di sungai.

“Dua tepatnya.” Nana mengoreksi perkataan Gesang, “puntung rokok yang tadi juga kamu buang begitu saja ke kanal.”

“Satu sampah juga berdampak buat kanalnya, Ge. Nanti air kanal dialirkan ke sungai, terus makhluk hidup yang ada di sungai bagaimana coba nasibnya? Banyak ikan yang mati gara-gara terjebak kantong kresek, kekurangan oksigen gara-gara permukaan air tertutup sampah. Bukan cuma hewan dan tumbuhan saja yang kena dampak, manusia juga kena.”

“… kalau musim hujan mulai tiba, kayak sekarang ini, dan curah hujannya tinggi … kawasan-kawasan yang banyak tumpukan sampah bisa menyumbat saluran air. Akhirnya banjir pun sudah tidak bisa dihindari lagi,” tambah Nana.

“Kebiasaan buang sampah ke sungai atau kanal itu akan menyebabkan pendangkalan sungai, yang nantinya sungai enggak bisa menampung lebih banyak air. Dan kamu tahu ‘kan kalau akhirnya bisa saja terjadi banjir?”

“Iya, Na … aku paham. Tapi sampah rokok yang aku buang juga enggak sebanding sama mereka yang suka menebang pohon sembarangan atau para bidak dunia serakah yang gemar merampok alam. Iya ‘kan?” ucap Gesang seraya memandang lama ke arah Nana.

Aku yakin jika saja tetes-tetes air masih bisa menahan rindunya untuk tidak mengguyur Kota Jakarta, pasti Gesang masih akan melanjutkan pembelaan diri yang penuh omong kosong itu. Namun ketika semesta mempersembahkan rintik hujan untuk luruh ke bumi, Gesang bergegas bangkit dan mengulurkan tangannya kepada Nana.

“Hujan. Ayo pulang, Na,” ajak Gesang yang disambut oleh anggukan Nana. “Enggak perlu bahas soal sampah lagi, kita harus cepat pulang kalau kamu enggak mau sakit karena basah kuyup kehujanan.”

Sekali lagi Nana mengangguk dan menerima uluran tangan Gesang. Sementara aku masih di sini, memperhatikan kepergian Nana dan Gesang sampai punggung mereka tak lagi terlihat. Aku tetap di sini seraya menyambut kedatangan hujan yang rendah hati, dan lagi-lagi hujan datang menyampaikan sebongkah cerita masa lalu. Ada perasaan pilu sekaligus rindu setiap kali hujan kembali bercerita kepadaku.

Aku merindukan suatu waktu di mana aku belum dipenuhi sesak oleh tumpukan sampah dengan beribu bahan organik yang disumbangkan oleh manusia kepadaku. Sampai pada akhirnya terkena bakteri dan menghasilkan asam lemak yang menyebabkan warnaku tak lagi jernih serta berbau tak sedap.

Aku pernah tersenyum sukarela saat aku diperlakukan begitu baik oleh manusia ratusan tahun yang lalu. Saat Molenvliet menjadi kanal penghubung antara Oud Batavia dan Weltevreden yang airnya begitu jernih, sampai bisa dibuat untuk bercermin. Dulu, di kanan dan kiri tubuhku terdapat banyak kincir dan melintasi Hotel van den Gouverneur-General atau sekarang lebih dikenal dengan nama Istana Negara. Aku rindu mereka yang hijau tumbuh subur menjulang di sekitarku, membawa hawa sejuk sambil terus mengirimkan oksigen untuk bumi. Aku merindukan masa itu. Aku merindukan manusia bumi yang tidak berlaku kurang ajar kepadaku.

 Namun seiring berjalannya waktu, mungkin manusia lebih suka melihat wujudku yang kotor penuh bau, lengkap dengan tumpukan sampah yang menghiasi. Sampai terlalu tidak mungkin untuk sekarang menggelar berbagai pertunjukan di tubuhku, seperti pesta perahu dengan lampion cantik yang menghiasi. Ya, mau menggelar pesta perahu bagaimana jika airku saja sudah kering dan bau.

Tampaknya manusia lebih senang memberiku satu per satu sampah tanpa memedulikan makhluk hidup yang ada di dalam tubuhku. Mungkin mereka tidak sadar kalau ikan-ikan tidak bisa hidup karena tak mendapat cukup oksigen di dalam air. Bukannya ikan mendapatkan makanan, yang ada mereka terjebak sampah plastik yang disumbangkan dengan ikhlas oleh manusia bumi.

Demi Langit, aku tak meminta banyak kepada manusia. Cukup tidak membuang sampah rumah tangga serta tidak rajin menderma limbah pabrik. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuatku bernapas lega. Namun manusia seolah menutup mata dan telinganya, membiarkan airku yang semula jernih larut bersatu bersama sampah mereka.

***

            Tempo hari aku mengadu bersama hujan kepada semesta, bahwa aku merindukan manusia bumi yang tak berlaku kurang ajar kepadaku. Namun sepertinya semesta salah menafsirkan pengaduanku.

            Aku merindukan Nana, karena dia bagian dari manusia yang peduli kepadaku. Kepada ikan-ikan serta makhluk hidup lainnya yang tinggal di dalam tubuhku. Tapi justru, semesta mau aku sendiri yang mengunjungi Nana.

Tidak. Semesta memintaku untuk bertegur sapa kepada manusia yang begitu sering menderma sampah dan limbah kepadaku. Semesta ingin aku mengembalikan sampah yang sempat manusia sumbangkan kepadaku. Hujan tempo hari membuat airku meluap dan kini mau tak mau aku datang menyapa mereka. Namun, manusia bumi justru menjatuhi sumpah serapah kepadaku di saat aku mengembalikan setumpuk sampah yang terbawa arus air kotor penuh kotoran itu kepada mereka.

            “Ge, kita enggak bisa ketemuan hari ini. Rumahku kebanjiran, jadi aku enggak bisa keluar.”

            Itu suara Nana. Gadis itu sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Aku tersenyum tipis berhasil bertemu dengan Nana. Namun jujur saja, bukan pertemuan seperti ini yang aku harapkan. Nana bukan bagian dari mereka yang hobi membuang sampah sembarangan sembil berdalih orang-orang juga buang sampah sembarangan, kok. Tapi, ia justru ikut terkena dampaknya. Semesta mendatangkan banjir sebagai bentuk peringatan, namun masih saja manusia tak peka dan hanya mengeluh sambil saling menyalahkan.

            “Banjir, ya? Rumahku juga kebanjiran, Na. Pemerintah memang enggak bisa menyediakan tempat sampah yang cukup banyak sih, Na … kurang memerhatikan saluran air yang ada di daerah-daerah rawan banjir juga, makanya jadi kebanjiran begini. Duh, kalau udah banjir ‘kan yang repot semua ya, Na?”

            “Kok kamu gampang banget menyalahkan orang sih, Ge? Mau pemerintah berupaya secara optimal buat mencegah banjir juga, kalau warganya masih enggak sadar tentang kebiasaan buruk mereka membuang sampah sembarangan … ya tetap saja sia-sia upaya pemerintah,” ujar Nana kepada Gesang yang ada di sebrang sana. “Perilaku membuang sampah ke sungai atau mendirikan bangunan di bantaran kali juga harus dihilangkan, Ge.”

            “Kamu mau ungkit lagi masalah waktu kita ke kanal tempo hari, Na?”

            “Enggak gitu maksud aku, Ge. Maksud aku, kebiasan membuang sumpah ke sungai atau kali ‘kan bisa menyebabkan banjir. Enggak seharusnya kamu buang sampah begitu saja kayak tempo hari,” ucap Nana.

            “Bukan cuma aku, Na. warga Jakarta mayoritas juga buang sampah ke sungai dan kanal. Mereka juga salah, jangan mojokin aku kayak gini.”

            Untuk kali kesekian Nana mengembuskan napas kasar. “Kamu mau mengikuti jejak orang yang enggak benar? Kamu tahu kalau buang sampah itu salah, tapi kamu masih saja buang sampah. Kalau sudah banjir begini, saling menyalahkan. Dalihnya orang lain juga banyak yang suka buang sampah sembaranga, pabrik lebih sering derma limbah penuh minyak, sampai bilang pemerintah enggak becus menanggulangi bencana banjir.”

            “Maaf, deh. Janji enggak akan ulangi lagi.”

            “Jangan minta maaf sama aku, Ge …. Minta maafnya sama alam, tapi alam enggak butuh permintaan maaf berupa perkataan yang keluar dari bibir. Alam butuhnya pembuktian kalau kamu menyesal,” kata Nana dengan suara lembut.

            “Ya sudah, kalau sudah enggak banjir … kalau semesta udah enggak marah lagi, nanti aku minta maaf yang benar sama alam, ya?”

            “Gimana cara minta maaf seorang Gesang?” tanya Nana.

            “Aku mau jadi sukarelawan buat bersihin sampah bekas banjir. Siapa tahu dengan begitu semesta tersenyum dan mau memaafkan aku. Itu termasuk cara klise merayu semesta bukan, sih, Na? Merayu semesta agar banjir enggak mampir lagi ke rumah.”

            “Asal enggak mengulangi kesalahan yang sama … mungkin air sungai enggak akan mau silaturahmi lagi sampai ke rumah kamu hahaha …,” ujar Nana diakhiri tawa kecil yang mengudara.

            Sementara Nana meneruskan obrolannya dengan Gesang yang rupanya juga sama-sama mendapat tamu tak diharapkan─banjir, aku tersenyum bersamaan dengan diriku yang terus mengalir tenang membawa setumpuk sampah.

            Kupikir setiap manusia selalu dijatuhi akan sebuah pilihan. Membuang sampah sembarangan, menebang hutan begitu saja, atau terus mengeksploitasi gas alam … itu semua menjadi pilihan mereka. Namun pada dasarnya semesta sudah memperingatkan, bahwa ada harga yang harus dibayar mahal akan setiap pilihan yang mereka buat.

            Dan banjir hanya satu dari sepersekian harga yang harus mereka lunasi.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *